diekz's Blog

Sejarah Bangsaku

Epilog 3 Juli 1946

PENCULIKAN SYAHRIR

didiek s. hargono

 

Pernyataan resmi pemerintah mengenai Peristiwa Tiga Juli mengecamnya sebagai suatu perebutan kekuasaan yang bersifat pengkhianatan, yang didalangi oleh Tan Malaka.[1] Suatu kampanye yang sistematis dilancarkan untuk mencap Tan Malaka sebagai petualang yang lihai dan kejam, dengan ambisi-ambisi tak terbatas. Orang revolusioner yang sudah lanjut usia itu tidak diberikan kesempatan untuk membela diri menghadapi fitnah yang diatur rapi ini. la tidak pernah dibawa ke sidang pengadilan, dan bagian akhir dari riwayat hidupnya yang ditulisnya sendiri dalam tahanan dan diberikan judul tepat Dari Pendjara ke Pendjara, baru diterbitkan jauh setelah ia dibunuh pada tahun 1949.

Para pemimpin Republik tahu benar bahwa Tan Malaka tidak bersalah — dan karena itulah tidak pemah berani menghadapkan dia ke muka pengadilan hukum. Tetapi alasan-alasan “kepentingan negara” membuat diperlukan seorang kambing hitam yang tak berdaya; dan tidak ada siapa-siapa yang lebih cocok untuk peranan ini daripada dia. Terbukanya kepada umum perpecahan-perpecahan yang mendalam di kalangan golongan atas politik dan tentara, yang sebenarnya menimbulkan krisis dari tanggal 27 Juni sampai 3 Juli itu, akan sangat melemahkan semangat bangsa dan membahayakan kedudukan intemasional Indonesia. Selain itu, setiap pembukaan-pembukaan rahasia politik dari Peristiwa 3 Juli itu akan menghancurkan kompromi yang telah dicapai dengan begitu sulit setelah selesainya krisis itu, kompromi mana justru dibuat untuk kemungkinan adanya sedikit kerja sama antara pemerintah dan komando tinggi tentara selanjutnya. Dengan maksud untuk menyelamatkan “pengertian” yang renggang ini, Tan Malaka, yang selamanya menjadi orang luar, bisa saja dikorbankan.

Tetapi ada alasan lain mengapa orang revolusioner pengembar itu harus dibungkam dan difitnah. Dialah satu-satunya pemimpin besar yang berpegang sepenuhnya teguh kepada kebijaksanaan perjuangan, dan yang mempunyai wibawa untuk membuat hal itu menjadi suatu alternatif yang masuk akal. Sekarang bahwa pemimpin-pemimpin Republik itu, baik sipil maupun militer, telah membelakangi alternatif ini secara menentukan, mereka merasa perlu (demi alasan-alasan politik dalam dan luar negeri) untuk menuliskan suatu akhir yang jelas kepada kebijaksanaan itu. Tujuan ini paling mudah tercapai dengan menghancurkan nama baik dari, dan kepercayaan atas, diri Tan Malaka, lambang hidup dari apa yang telah mereka tinggalkan.

Yang masih perlu ditanyakan, dalam tinjauan kemudian, apakah akibat-akibat yang berkepanjangan dari kegagalan tanggal 3 Juli 1946 itu?

Pertama, peristiwa itu mengakibatkan suatu perubahan yang penting dalam pembagian kekuasaan dan wewenang di kalangan kepemimpinan Republik. Di satu pihak, kedudukan Sudirman dan komando tinggi tentara dengan jelas menjadi lemah.[2] Timbul demoralisasi yang hebat di kalangan militer, dan Divisi III benar-benar menjadi berantakan. Baru tiga bulan kemudian seorang panglima baru berhasil dilantik, dan bahkan pada waktu itu Sudirman terpaksa menerima calon dari perwira-perwira bawahan setelah calonnya sendiri ditolak secara memalukan.[3] Di pihak lain, peranan pemimpin partai-partai politik dalam peristiwa itu juga kurang dapat dibanggakan. Memang pemerintah gaya parlementer akhirnya dipulihkan pada tanggal 2 Oktober, ketika kabinet Sjahrir ketiga, suatu versi yang lebih luas, dan lebih kaku jalannya, dari yang kedua, dilantik.[4] Tetapi dengan jelas wibawa dan wewenangnya lebih rendah daripada yang digantikannya.

Satu-satunya tokoh yang muncul dari krisis itu dengan kekuasaannya bertambah adalah Sukamo. Sementara kebanyakan anggota Kabinet Bucho menghilang ke dalam penjara setelah tanggal 3 Juli,  pemimpin  pemerintah Republik pertama itu menjalankan peranan yang lebih sentral daripada sebelumnya. Krisis itu telah memperlihatkan bahwa dialah satu-satunya orang yang mampu menarik dukungan dari semua golongan. Masa pemerintah presidensil itu, meskipun hanya sebentar — dari bulan Juli sampai bulan September — merampungkan rehabilitasi politiknya dan menciptakan suatu preseden yang kuat untuk masa mendatang: dalam masa-masa kegentingan nasional di saat negara diancam baik dari dalam maupun dari luar, akan menjadi wajar untuk menggantungkan diri kepada Sukamo, yang telah melambangkan nasionalisme Indonesia dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.

 

Kedua, pembungkaman Tan Malaka telah mengakhiri setiap harapan yang pernah ada bahwa Indonesia akan memilih jalan perjuangan daripada jalan diplomasi. Kemungkinan bahwa jalan yang pertama akan diambil barangkali selamanya kecil, mengingat sifat kepemimpinan politik Indonesia pada waktu itu, termasuk latar belakang sosial dan orientasi-orientasi politiknya, ditambah pengalaman sejarahnya. Tetapi setelah bulan Juli bahkan kemungkinan yang tipis ini pun lenyap. Dalam bulan-bulan berikutnya pasukan-pasukan Belanda tetap semakin bertambah di Nusantara. Berkaitan dengan politik cermat van Mook yang mengerahkan beberapa golongan-golongan di pulau-pulau luar Jawa untuk menentang pusat Republik, penambahan jumlah militer ini memberikan kepada Belanda alat pengungkit untuk memaksa para pemimpin Republik untuk memberikan konsesi-konsesi yang semakin luas, yang puncaknya ialah Perjanjian Renville yang memalukan itu pada bulan Januari 1948.

Seperti telah kita lihat sebelumnya, logika diplomasi mutlak menuntut penggalangan penguasa-penguasa tradisional dan ketaatan kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam negeri yang konservatif, karena prioritas utama ialah untuk memenuhi harapan mula-mula dari Belanda dan Inggris, dan kemudian dari Amerika.[5] Akibat yang terakhir adalah bahwa Indonesia memperoleh pengakuannya sebagai suatu negara berdaulat oleh dunia luar, tetapi bukan 100% Merdeka. Ketika zaman perlunya berunding dengan Belanda dan Amerika sudah lewat, golongan-golongan yang kekuatannya sebagian besar terletak pada kemampuan mereka untuk melakukan perundingan-perundingan ini dengan berhasil, menemukan wewenang mereka berangsur-angsur lenyap.[6] Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh dunia internasional tidak cukup untuk memenuhi harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi rakyat Indonesia dalam jangka panjang. Akan tetapi, mengemudiankan segala sesuatu daripadanya akan berarti bahwa pengembangan struktur dan organisasi yang mampu memberikan kepada pengakuan itu bentuk sosial yang kekal hampir seluruhnya dilalaikan. Dari inilah timbul ketidakpuasan yang mendalam setelah memasuki tahun-tahun kemerdekaan, dan bencana-bencana di kemudian hari.

Ketiga, gerakan pemuda itu, yang telah kita perhatikan tumbuh pada akhir pendudukan Jepang, menemui jalan buntu dengan berakhirnya kabinet Sjahrir yang kedua. Logika diplomasi mendorong emerintah untuk mengekang dan membatasi gerakan itu, yang tidak menemukan arti yang kekal dan luhur dalam politik yang dijalankan pemerintah.

Pemunculan pemuda sebagai kekuatan politik adalah segi yang paling menonjol pada awal Revolusi itu. Adalah di punggung pemuda itu bahwa Sjahrir dan Amir pertama naik berkuasa, dengan janji suatu kemerdekaan yang selamanya diingkari pada zaman-zaman Belanda dan Jepang. Namun janji itu segera temyata suatu khayalan, dan persekutuan antara pemuda dan pemerintah nampaknya dihasilkan oleh kesalahmengertian pada kedua belah pihak.

Semakin lama kabinet-kabinet Sjahrir berkuasa, semakin besar kekecewaan dalam barisan pemuda itu, kecuali di kalangan segelintir pemuda berpendidikan tinggi yang menemukan dalam diri Sjahrir suatu model untuk diri mereka sendiri, dan dalam harapan pribadi Sjahrir tentang terbentuknya suatu masyarakat ala Barat yang bersifat demokrasi liberal, suatu pegangan yang betui masuk akal.

Sebagian besar adalah juga karena dukungan pemuda bahwa Persatuan Perjuangan menemukan daya dorongnya yang pertama. Selama waktu yang singkat, Tan Malaka muncul untuk menawarkan suatu kemerdekaan yang dekat ke hati pemuda. Tetapi setelah bertahun-tahun dalam pengembaraan yang terpencil, dan tanpa mempunyai kader-kader yang taat dan cakap, maka tokoh tua itu tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari menjadi korban persaingan golongan atas dan pertentangan-pertentangan antara pemimpin-pemimpin pemerintah dan tentara.[7] Meskipun secara naluri ia mempunyai hubungan dengan pemuda, dan sifat pandangannya sesuai dengan pandangan mereka tugas untuk membangun suatu barisan nasional yang radikal dan terpadu, yang dimotori oleh gerakan pemuda, adalah di luar kemampuannya. Pada bulan Juli 1946 janji Moeslihat tidak kurang sifat khayalnya daripada janji Perdjoeangan Kita.

Bukanlah bahwa pemuda menolak organisasi dan kepemimpinan, tetapi bahwa organisasi dan kepemimpinan yang digunakan haruslah berakar dalam tradisi pemuda itu. Dalam berbagai cara yang berbeda, pesantren dan asrama telah menawarkan cara hidup yang berdisiplin dan rela mengorbankan kepentihgan sendiri dalam upaya untuk mencapai tujuan-tujuan yang luhur. Dari lembaga-lembaga ini gerakan pemuda itu banyak memperoleh gaya khas dan simbolismenya. Tetapi gaya dan simbolisme dalam diri mereka itu tidak cukup untuk menyalurkan air pasang pemuda itu menjadi suatu kekuatan revolusioner politik yang terpadu. Orang dapat menganggap gerakan pemuda itu sebagai sebuah mesin mobil yang dijalankan dengan kecepatan yang setinggi-tingginya, tetapi tanpa seorang sopir pun yang bisa memasangkan persnelingnya.

Pemuda itu tidak pemah menemukan sopir mereka. Selama waktu yang singkat, di berbagai tempat yang berbeda, badan perjuangan dan militer sebagian mengisi fungsi ini. Partai-partai politik, karena sebagian besar terdiri dari anggota-anggota golongan atas politik, tidak pemah dapat melakukan hal itu. Tetapi tentara dan badan perjuangan itu sendiri tidak cukup; dan dengan kegagalan untuk menempa mereka ke dalam suatu struktur nasional yang terpadu, gerakan pemuda itu ditakdirkan untuk kecewa terus.

Dengan demikian Revolusi itu tidak pemah menjadi lebih daripada suatu “revolusi nasional”; ia berakhir dalam tahun 1949, ketika Belanda menyerahkan kedaulatan sah atas hampir seluruh kepulauan itu ke dalam tangan Indonesia, dan Sukamo pindah ke dalam sebuah istana tempat para gubernur-jenderal telah begitu lama bertakhta. Potensi-potensi Revolusi itu hanya sepintas dapat dilihat  dalam  revolusi-revolusi sosial yang berlangsung dengan singkat dan terpencil di daerah-daerah, dan dalam ingatan dari beberapa orang yang telah mengalaminya. Lama setelah kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia, perjuangan untuk 100% Merdeka masih berlangsung terus, dan masih tetap ditakdirkan berkekecewaan. Tetapi harapan-harapan perjuangan itu masih tetap hidup bersama kita.


[1]       Teks dapat ditemukan dalam Raliby, Dokumenta Historica, him. 341- 345.

[2]       Kepala intelijennya, Kolonel dr. Sutjipto, termasuk di antara orang-orang yang ditahan, dan Sudirman tidak dapat berbuat apa pun untuk dia.

[3]     Krisis ini dicatat dalam “Sedjarah TNI, Diponegoro”, him. 101 — 103. Orang pertama yang mencoba untuk mengambil tempat Sudarsono adalah Letnan Kolonel Sunarwibowo, komandan Resimen 1, yang memasuki markas divisi itu dan mengumumkan dirinya sebagai pengganti Sudarsono. Langkah ini gagal karena Sukarno sudah lebih dahulu menetapkan Suharto untuk sementara bertanggung jawab pada Divisi III itu. Kemudian Letnan Kolonel Palal muncul dengan pakaian kolonel, mengumumkan bahwa ia akan mengambil alih markas divisi itu bersama-sama dengan Umar Djoy. Mayor Bardosono dan Kapten Darjono berhasil mencegahnya setelah meminta bantuan melalui telepon kepada para komandan dari resimen-resimen 17, 18, 19, dan 20. Banyak perwira kemudian ditahan. Akhirnya, Mayor Moch, kepala intelijen divisi, menyelenggarakan suatu konferensi untuk menyelesaikan masalah-masalah itu “di dalam lingkungan Divisi sendiri”. Rupanya Suharto akhirnya menolak untuk menerima pimpinan tetap, karena alasan-alasan yang tidak jelas, maka para perwira muda memilih Kol. Susalit, pada waktu itu komandan Brigade V di Cirebon. Tetapi Sudirman dan Urip nampaknya tidak menyukai pilihan itu, dan sebagai penggantinya memilih Mayor Jenderal Soediro dari Kediri (yang sebelumnya telah ditolak oleh para perwira Divisi IV yang menginginkan Sutarto). Ketika saatnya untuk pelantikan Soediro tiba, tak seorang pun dari para perwira itu muncul. Baru pada tanggal 25 September Sudirman dan Urip menerima Susalit sebagai panglima, dan hanya ketika ia dibawa ke Yogyakarta untuk maksud ini oleh para perwira muda itu. (Susalit adalah saudara lain ibu dari pemimpin PS Abdulmadjid, halaman mungkin menjadi salah satu alasan untuk penolakan Sudirman).

[4]     Komposisi kabinet ini dapat ditemukan dalam Finch dan Lev, Republic of Indonesia Cabinets, hlm. 8 — 9.

[5]     Dalam bukunya Sutter, Indonesianisasi (him, 407 — 408) terdapat suatu uraian yang mengandung banyak pelajaran tentang cara kegagalan Tiga Juli  itu  dipergunakan untuk meneruskan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam negeri yang konservatif, terutama pemindahan perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik dari penguasaan para pegawai mereka, dan bila mungkin, pengembalian mereka kepada para pemilik aslinya.

[6]     Proses ini dengan bagus didokumentasikan oleh Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, N.Y., 1962); lihat terutama him. 19 — 26, 113 — 132, dan 597 — 608, untuk suatu analisis umum.

[7]     Harus diakui bahwa Tan Malaka menghadapi suatu penghambat yang berat dalam diri Sukarno. Tetapi sebenarnya adalah kurang kewibawaan dan kekuasaannya. Sukarno yang menentukan daripada komitmennya kepada diplomasi. Seandainya Sukarno telah menggunakan kekuasaannya untuk mendukung perjuangan, maka jalan sejarah Indonesia mungkin telah sangat berbeda. Adalah sukar untuk menahan diri dari suatu perbandingan dengan Ho Chi Minh, yang justru membangun organisasi radikal seperti yang tidak dimiliki oleh Tan Malaka, dan yang tidak menemukan persaingan yang berat sungguh-sungguh dalam diri Bao Dai sebagai pemelihara harapan bangsanya.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Tinggalkan komentar

About author

Ir. Didiek Setiabudi Hargono SE. ME. adalah Sarjana Kehutanan IPB dan Sarjana Ekonomi UI. Menyelesaikan Magister Ekonomi dari Fakultas Ekonomi UI. Saat ini bekerja di Yayasan Kebun Raya Indonesia yang didirikan oleh Megawati Sukarnoputri sebagai Direktur Eksekutif dan aktif dalam organisasi politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pengurus Bidang Kehutanan dan Perkebunan di bawah pimpinan DR. M. Prakosa PhD. Deklarator Cendekiawan Marhaenis dan Ikatan Cendekiawan Nasionalis Indonesia. Deklarator dan Wakil Sekjen pada Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) yang didirikan oleh Kwik Kian Gie.

Cari

Navigasi

Kategori:

Links:

Archives:

Feeds