diekz's Blog

Sosial Budaya

Sistem Pengawasan Kemendikbud Yang Lemah

Ir. Didiek S. Hargono SE.ME.

Ketika peristiwa pelecehan anak di JIS menyeruak, semua orang terkaget-kaget. Bagaimana tidak, karena sekolah internasional yang sudah lama dan terkenal ketat dan disiplin itu, bisa kebobolan oleh internalnya sendiri.

Yang lebih menghebohkan lagi adalah ternyata terbongkar pula kenyataan bahwa ijin operasi sekolah TK tersebut sudah sejak 2011 jatuh tempo. Sehingga oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Lidya Freyani menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di Jakarta Internasional School (JIS) tersebut dinilai ilegal dan harus ditutup, jika izinnya tidak diurus. (Rabu, 16 April 2014).

Seperti diketahui bahwa JIS sudah memiliki TK sejak tahun 60an dan itu sesuai dengan ijin yang mereka ajukan kepada Kemendiknas. JIS berdiri sebagai Joint Embassies School (JES) yang didirikan oleh sejumlah kedutaan besar di Jakarta sebagai upaya mereka untuk membuat sekolah bagi keluarga para diplomat dan ekspatriat di Indonesia, karena mungkin meragukan pendidikan yang di Indonesia untuk kalangan mereka. Lokasinya ada dua di Jakarta Selatan dan yang paling besar di terusan Terogong, Pondok Indah. JES kemudian menjadi Jakarta International School seperti yang dikenal sekarang.

Menurut Dirjen PAUD, izin yang diberikan kepada JIS selama ini sebenarnya hanya untuk penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar dan menengah, bukan untuk PAUD.

Untuk JIS sendiri, sejak tahun 2011 pada level TK dan pendidikan di bawahnya harus mengantongi izin dari Ditjen PAUDNI. Sebelumnya penyelenggara pendidikan usia dini hanya diharuskan mengantongi izin dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. JIS sudah mengantongi izin dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah, namun setelah tahun 2011 JIS belum memperbaharui izinnya.

Sejak tiga bulan terakhir Ditjen PAUDNI dan pihak JIS sudah berkordinasi untuk mengeluarkan izin tersebut, namun hingga kini manajemen JIS tidak kunjung melengkapi berkas-berkas yang diminta Ditjen PAUDNI, alhasil hingga kini izin tersebut pun belum dikeluarkan.

JIS terbentuk dengan SKB 3 Menteri pada tahun 1977 dengan izin operasional untuk SD, SMP, dan SMA. Kemudian berdasarkan PP no 17/2010, sekolah internasional dalam 3 tahun setelah PP keluar harus menyesuaikan diri ke bentuk sekolah berstandar nasional, sekolah berkeunggulan lokal, atau sekolah kerjasama. Namun setelah tanggal 1 Januari 2013, JIS tidak memilih salah satunya.

Dalam persoalan izin, salah satu kendala dalam penyesuaian bentuk sekolah adalah belum ada peraturan mendikbud yang mengatur tentang sekolah kerjasama, yang merupakan salah satu pilihan di PP no 17/2010 tersebut. Untuk menjadi sekolah kerjasama, sekolah tersebut harus memilih partner di luar negeri. Kalau mau pilih jadi sekolah kerjasama, harus pilih partner sekolah di luar negeri. Tapi kalau mau pilih partner itu, belum ada Permendikbudnya.

Menurut Dirjen PAUD ternyata pelanggaran izin penyelenggaraan PAUD semacam ini berjumlah 111 sekolah PAUD di seluruh Indonesia yang belum mengantongi izin. (Pengawasan Kemendikbud Lemah, JIS Dibelah Sabtu, 19 April 2014 WIB
http://www.gresnews.com)

Pertanyaannya adalah, mengapa demikian lemahnya pengawasan Kemendiknas, terutama masing-masing Dirjen-nya. Seharusnya ada pemeriksaan berkala untuk sekolah-sekolah tersebut. Rasanya jadi kurang profesional, apalagi sekolah ini bertaraf internasional dan sangat mahal biaya pendidikannya. Tentunya kita sebagai warga bangsa menjadi ikut malu. Kadarluasa Perizinan TK JIS tersebut pasti tidak terbongkar, apabila kasus pelecehan ini tidak terjadi, dan Kemendiknas (baca Dirjen PAUD) akan tenang-temang saja, seolah-olah tidak perlu ada pengawasan.

Penutupan sekolah itu hanya upaya pihak Kemendiknas menutupi kelemahan pengawasan sekolah yang selama ini dilakukan pemerintah. Apalagi sistem pendidikan di Indonesia saat ini dinilai terlalu mengikuti sistem pasar bebas, dimana sekolah-sekolah marak berdiri baik berizin ataupun tidak dengan kualitas dan kurikulum yang juga tidak terkontrol dengan baik. Akibatnya, output pendidikan dipertanyakan, karena sekolah hanya mengandalkan fasilitas dan tenaga pengajar yang dipromosikan sebagai tenaga pengajar berlevel internasional (tenaga pengajar asing) belaka tanpa ada verifikasi.

Semoga kejadian ini menjadi momentum yang tepat untuk membenahi kerjasama pendidikan kita, dan pihak terkait dalam hal ini Dirjen PAUD menyelesaikan ke-111 masalah yang sama tersebut. Sehingga statemen sang Ibu Dirjen PAUD : “JIS itu kan dari 1992, kenapa diam saja selama ini? Jangan gitu dong !!”, tidak perlu terlontar, karena seharusnya pihaknya yang pro-aktif.

Penulis adalah pemerhati kebijakan publik yang aktif di PDI Perjuangan.

ASAL USUL KEBAYA

Didiek S. Hargono

 

Tidak ada satupun produk budaya manusia yang eksistensinya dapat berdiri sendiri tanpa pengaruh dari faktor-faktor lainya seperti politik, ekonomi, dan sosial. Sejarah sendiri telah membuktikan hal tersebut, sehingga untuk mengetahui suatu bentuk produk budaya, maka hal tersebut dapat dilacak dari aspek-aspek yang mempengaruhinya.

Begitu juga untuk melihat suatu bentuk perwujudan trend kebaya pada masa pasca reformasi dan masa-masa sebelumnya. Keberadaan kebaya banyak dipengaruhi oleh situasi politik, ekonomi, dan sosial. Era reformasilah yang membuka kebekuan demokrasi untuk bersuara, berekspresi, dan bentuk-bentuk pengungkapan metafora lainya yang lebih berani dibanding era sebelumnya dalam Orde Baru yang serba terbelenggu, kaku, dan tabu. Pada kalangan artis, seniman, khususnya desainer kebaya dengan kekuatan wahana media informasi, lebih dapat mengungkapkan ide-ide gagasanya dalam berkarya busana. Trend kebaya yang kemunculanya jauh lebih bervariasi bahkan mampu merobek patron, normatif, etika, dan estetika kebaya.

Tetapi pernahkah terlintas dalam pikiran kita ketika melihat perempuan Indonesia mengenakan baju nasional Indonesia yang dinamakan “KEBAYA”, kemudian bertanya  darimana sebenarnya Kebaya itu berasal. Bagaimana sehingga Kebaya kemudian menjadi pakaian nasional sebagai ciri khas perempuan Indonesia.

MASA AWAL TERBENTUKNYA TREND KEBAYA DI INDONESIA

Sejarah awal terbentuknya budaya berpakaian di Indonesia tidak terlepas dari berbagai budaya bangsa lain yang pernah hidup, singgah, dan bercengkrama dalam balutan hubungan dagang. Hubungan dagang yang begitu lama itu, secara langsung maupun tidak langsung telah mampu menghasilkan berbagai macam bentuk singgungan dan pergumulan budaya. Di antara pedagang itu ada yang berasal dari China, India, Arab, Portugis, dan yang terakhir berasal dari Belanda. Busana merupakan salah satu aspek penting yang dihasilkan dari pergumulan kebudayaan tersebut.

Penelitian relief pada kaki candi Hindu-Jawa, termasuk berbagai relief candi zaman Majapahit, cukup membuktikan bahwa kedua jenis manusia pada zaman itu hanya mengenal kain kain lipat (selubung). Keberadaan busana pada zaman sebelum kedatangan Islam sebenarnya juga telah diketahui lewat adanya prasasti pada abad ke-9 Masehi yang menyebut istilah untuk pakaian seperti: „kulambi’ (bahasa Jawa: klambi atau baju), ‘sarwul’ (sekarang dimaknai sebagai sruwal yang memiliki arti celana, „ken‟ (berarti kain).[1] Namun demikian, keberadaannya dimungkinkan belum merupakan busana yang mampu menutupi tubuh secara lebih baik.

Dalam novel kuartet Gajah Mada, Langit Kresna Hariadi menulis: “Sri Gitarja menjawab sambil mengusap air mata menggunakan lengan baju”. (Gajah Mada Bergelut dalam Kemelut Takhta dan Angkara hal 336, paragraf ke-3, baris ke-5). Asumsinya, jika tuan putri Sri Gitarja dapat mengusap air matanya dengan lengan baju berarti lengan baju yang beliau pakai adalah lengan panjang hingga-minimal-mendekati pergelangan tangan. Kemungkinan terbesar adalah jenis pakaian wanita kebaya. Sayangnya, hal ini bisa saja keliru karena Kebaya masih menjadi benda asing di masa ini. Masyarakat Jawa kala itu lebih mengenal kain panjang, tenun, ikat dan kemben sebagai busana sehari-hari. Ada juga yang berpendapat bahwa, masa-masa ini Kebaya terbatas dikenakan di kalangan kerajaan saja. Sayangnya, bukti-buktinya sangat lemah. Kain yang berbahan serat alam di negeri tropis seperti Indonesia mudah sekali hancur hanya karena kelembaban, cuaca, hingga mikroorganisme pemakannya. Bukti yang juga tidak bisa dikatakan kuat adalah arca-arca dan relief yang dipahat di sebagian besar bangunan kuno abad ke-13 hingga 15. Namun, tidak ada pola atau gambaran nyata yang mengindikasikan adanya Kebaya di masa itu.

Perwujudan pakaian pada relief Candi Prambanan. [2]

(Foto: Triyanto, 29 Maret 2008).

Bukti-bukti peranan Islam dalam memperbaiki cara berbusana wanita Indonesia dari bentuk busana ‛longgar‟ ke berbusana tertutup juga dapat dilacak dari interpretasi budaya wayang. Wayang purwo yang berlatar belakang cerita kejayaan Hindu Jawa memiliki atribut yang menyesuaikan dengan budaya dari masyarakat pendukungnya, seperti: gelung rambut, mahkota, dan atribut lainnya. Pasca kedatangan Islam, latar belakang cerita menjadi berkembang, akhirnya perkembangan itu mampu mengubah atribut yang dipakai oleh berbagai tokoh wayang, seperti pemunculan adanya jubah, serban, dan sepatu „gamparan’, merupakan simbolisasi kebudayaan Islam. Contoh wayang islami: wayang Sadat, wayang Jawa, wayang Diponegoro, dan bentuk lainnya.[3]

Pemunculan pakaian yang menutupi tubuh secara lebih baik, terutama pantalon untuk lelaki dan kebaya untuk perempuan, terjadi secara lambat laun sejak abad ke-15 sampai abad ke-16, di mana kebudayaan Islam memiliki pengaruh kuat di dalam memperbaiki perilaku berbusana masyarakat.[4]

PERKEMBANGAN PADA MASA ISLAM

Semenjak lahir pada abad ke – 7 di Mekkah dan Madinah sampai dengan perkembangan berikutnya sebagai agama besar di Dunia, Islam telah mengubah banyak warna dunia. Pengaruh agama Islam telah memberi corak dan arah yang menentukan, khususnya kepada kebudayaan bangsa Indonesia. Meski corak kebudayaan Hindu tetap melekat terutama dalam gaya busana, namun pengaruh Islam telah mengubah bagian-bagian tertentu pada busana yang dipakai bangsa Indonesia. Dari bentuk pakaian terbuka menjadi bentuk pakaian menutup aurat badan,  pakaian yang disesuaikan dengan norma-norma dan kaidah keislaman. Bentuk busana yang pada awalnya terlihat terbuka pada bagian dada, kemudian disempurnakan agar tidak tampak vulgar. Maksud utamanya adalah menutup bagian aurat kaum perempuan.

Oleh karena itu ada sebagian yang beranggapan bahwa pakaian Kebaya merupakan jenis pakaian yang dipopulerkan oleh bangsa Arab, karena bangsa inilah dibawa oleh para saudagarnya ke Indonesia ketika terjadi hubungan perdagangan dalam “Jalur Sutra” dan dalam penyebaran agama Islam. Akan tetapi nantinya yang juga berperan dalam memberikan pengaruh terhadap penyebarannya adalah bangsa Portugis. Pada masa Malaka jatuh ke tangan Portugis, maka semakin cepatlah perkembangan kain Kebaya masuk ke Indonesia. Bangsa inilah juga yang mengaitkan kebaya dengan pakaian tunik perempuan pada masa kekaisaran Ming di daratan Cina. Imigran Muslim dari China pada abad 15 mungkin juga berperan memperkenalkan kebaya, mengingat baju longgar berlengan panjang buka depan yang dikatupkan pada tepi-tepinya mirip dengan baju China beizi. Baju ini digunakan perempuan dari kalangan social bawah pada masa Dinasti Ming (abad ke-14 hingga abad 17).

Kata “Kebaya” menurut kamus Hobson – Jobson (pada kata cabaya, cetakan ulang 1969, hal 137) berasal dari bahasa Arab, dimana “Kaba” berarti  “Pakaian”. Istilah ini juga mengacu pada penelusuran linguistic, ketika Arab akrab dengan istilah “Abaya” sebagai tunik panjang khasnya. Istilah “Kebaya” kemudian diperkenalkan oleh bangsa Portugis Mengenai kabaya (kebaya), kamus Hobson-Jobson (pada kata cabaya, cetakan ulang 1969, hlm. 137) dinyatakan bahwa kebaya berasal dari bahasa Arab kaba „pakaian”, namun diperkenalkan melalui bahasa Portugis. Model kebaya dikaitkan dengan pakaian panjang yang dikenakan oleh wanita Portugis ketika sampai di pesisir Barat Daya Malaysia kala itu.[5]

Peneliti batik Rens Heringa dalam tulisannya, “Batik Pasisir as Mestizo Costume” (dalam Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java, 1996) memperlihatkan evolusi kebaya bahkan asal kata kebaya. Diduga istilah kebaya berhubungan dengan kata cambay, walaupun hal ini sebenarnya lebih menunjuk pada nama cita (kain kapas bermotif bunga) yang diimpor dari Pelabuhan Cambay di India. Nama ini diberikan untuk blus longgar buka depan yang dipakai perempuan dan laki-laki pada abad ke-15. Imigran Muslim dari China pada abad ke-15 mungkin juga berperan memperkenalkan kebaya, mengingat baju longgar berlengan panjang buka depan yang dikatupkan pada tepi-tepinya mirip dengan baju China beizi. Baju ini digunakan perempuan dari kalangan sosial bawah pada masa Dinasti Ming (abad ke-14 hingga ke-17).[6]

Menurut Prof. Denys Lombard dalam bukunya bertajuk “Nusa Jawa : Silang Budaya (1996)”[7], pakaian Kebaya diperkirakan mulai dikenakan di Indonesia sekitar abad 15 dan 16 Masehi. Saat itu kebaya merupakan busana khas perempuan Indonesia, terutama perempuan Jawa.

Sebelum 1600, di Pulau Jawa, kebaya adalah pakaian yang hanya dikenakan keluarga kerajaan di sana. Selama masa kendali Belanda di pulau itu, wanita-wanita Eropa mulai mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi. Selama masa ini, kebaya diubah dari hanya menggunakan barang tenunan mori menggunakan sutera dengan sulaman warna-warni. Pakaian yang mirip yang disebut “nyonya kebaya” diciptakan pertama kali oleh orang-orang Peranakan dari Melaka. Mereka mengenakannya dengan sarung dan kaus cantik bermanik-manik yang disebut “kasut manek”.

Pada tahun 1600, kebaya secara resmi dikenakan oleh keluarga kerajaan, hal ini ditunjukkan dalam dokumentasi lama Kerajaan Islam Cirebon, Surakarta maupun Yogyakarta.

Tetapi ada argumentasi lainnya yang menyebutkan bahwa Kebaya merupakan warisan dari Tiongkok ketika terjadi migrasi besar-besaran warga Cina ke kawasan Asia Selatan dan Tenggara pada abad ke 13. Saat itulah kebaya mulai dikenal luas oleh wanita Indonesia. Kemudian penyebarannya dimulai dari bagian utara Nusantara, hingga titik penyebaran terjauh di sebelah selatan adalah di pulau Jawa.  Tidak ditemukan lagi pakaian Kebaya di Kepulauan Pasifik Barat atau semenanjung utara Australia. Kebaya tidak hanya dikenakan oleh perempuan Melayu, tapi juga dikenakan oleh perempuan Cina peranakan. Namun  kebaya yang dikenakan oleh perempuan Cina peranakan ini sedikit berbeda potongan dan cara memakainya, yang kemudian kebaya ini dikenal dengan nama kebaya encim.

Bentuk awal Kebaya adalah seperti baju kurung khas Sumatera, dimana ketika di Jawa akhirnya dimodifikasi untuk menggantikan pakaian “Kemben” khas Jawa. Dalam tulisannya yang berjudul “Kebaya : Ini Indonesia” , Gandrasta Bangko menelaah kapan kebaya masuk ke Pulau Jawa. Karena pada jaman Gajah Mada, para perempuannya menggunakan jarik, tenun, dan kemben. Tetapi adanya peristiwa historis datangnya bangsa Eropa dan masuknya agama Islamlah yang mempengaruhi perkembangan kain Kebaya di pulau Jawa. Kebaya yang tadinya hanya dikenal sebatas pakaian panjang seperti khas pakaian Arab, kemudian berkembang karena pengaruh budaya Islam, Cina, dan Eropa.

 

 Kebaya Encim

Pada pertengahan abad 18, ada dua jenis kebaya yang banyak dipakai dipakai masyarakat, yakni kebaya Encim, busana yang dikenakan perempuan Cina peranakan di Indonesia, dan kebaya Putu Baru, busana bergaya tunik pendek berwarna warni dengan motif cantik.

Menurut JG Taylor dalam “Costume and Gender in Colonial Java, 1800-1940”, popularitas kain Kebaya meningkat antara abad 19 dan awal abad 20, karena semua kalangan menggunakan kain Kebaya. Mulai dari istana sampai di pasar. Yang membedakan pakaian tersebut hanya pada kualitas kain dan assesorinya saja. Kebaya yang digunakan oleh para bangsawan banyak yang dibuat dari kain sutera, beludru, dan brokat, sedangkan untuk kain Kebaya masyarakat awam dibuat dari kain katun dan tenun kasar. Untuk kaum keturunan (birasial) bahan kain Kebayanya pasti dibuat dari katun dengan potongan lebih pendek. Kebaya menjadi busana wajib bagi perempuan Belanda yang hijrah ke Indonesia.

Nasionalisme merebak tahun 1920-an. Organisasi-organisasi tradisional Indonesia maupun bentukan pemerintahan Hindia Belanda menyerukan nasionalisme dengan lantang. Kondisi politik saat itu juga memengaruhi preferensi fesyen masyarakatnya. Kebaya yang terlanjur Nasional dianggap bercitra pribumi dengan segala perjuangannya. Wanita keturunan Eropa dan Belanda meninggalkan kebaya sebagai pakaian sehari-hari mereka karena citra tradisional yang indigenous tadi. Periode ini meminimasi perkembangan fesyen Kebaya. Hampir tidak ada inovasi material yang signifikan, apalagi bentukan dan pola siluetnya. Kondisi seperti ini berlangsung hingga dua dekade berikutnya sampai yang terburuk tiba.

Dengan bermulanya penjajahan Jepang di Indonesia, kebaya mengalami penurunan disebabkan oleh kondisi sosial yang kurang bersahabat. Sehingga jumlah pembuatan kebaya turun drastis karena jalur perdagangan tekstil pada waktu itu terputus. Apalagi saat itu kebaya diasosiasikan sebagai pakaian yang dikenakan oleh perempuan Indo yang ditahan dan perempuan pekerja paksa.

Pada tahun 1940 dimana terjadi perang Kemerdekaan, pakaian Kebaya mulai menjadi pakaian yang mencirikan nasional Indonesia. Pada era tersebut Kebaya dipilih oleh Presiden Soekarno sebagai kostum nasional. Sehingga pada saat Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Kebaya mempertegas identitas nasional kaum perempuan Indonesia. Di masa itu kebaya melambangkan kemajuan serta emansipasi wanita dan di sisi lain, merupakan simbolisasi dari sebuah tradisi. Ibu Kartini menggunakan pakaian nasional Kebaya Indonesia, sehingga setiap tanggal 21 April selalu diperingati dengan seragam Kebaya.

Kebaya Kartini

Kebaya merupakan personifikasi dari identitas feminism wanita Indonesia. Apalagi ketika euphoria kemerdekaan merebak, citra nasional yang terpancar dari kebaya begitu kuat. Dean menyatakan bahwa era kemerdekaan, atau banyak yang menyebut era Fatmawati ini, sebagai masa keemasan Kebaya. Beberapa pihak beranggapan bahwa Kebaya di zaman keemasannya melekat kuat pada citra kaum perempuan terdidik atau kaum aristrokat.

Kebaya kemudian memasuki masa penuh kontradiksi (baca : guncangan), ketika Orde Baru berkuasa. Kebaya seakan-akan memiliki fungsi baru sebagai seragam. Menurut Victoria Cattoni, seorang ahli Kebaya asal Australia, kebaya terperangkap sebagai balutan eksklusif Dharma Wanita (Organisasi Wanita istri pegawai negeri yang dibentuk pada tahun 1974). Kebaya berwarna jingga menjadi seragam organisasi ini.

Pada tahun 1970-an, kiblat dunia mode Indonesia berpaling ke Eropa dan Amerika Serikat karena pengaruh budaya popnya mengalir deras dan kuat. Sehingga pada saat itu kebaya dianggap ketinggalan zaman, dan mulai ditinggalkan dan hanya dikenakan pada acara resmi atau pada acara resepsi.

Kebaya mampu meraih kembali masa gemilangnya di tahun 1990. Hal ini tidak terlepas dari usaha tangan-tangan kreatif para perancang busana pada saat itu. Para perancang mampu memodifikasi kebaya menjadi lebih unik dan beragam dengan menghadirkan keanggunan modern, seperti Dhea Panggabean, Anne Avantie, Amy Atmanto dan perancang busana lainnya yang mampu merancang kebaya gaya masa kini yang mulai biasa disebut ‘kebaya pesta’.

Pada masa pergolakan politik masa reformasi 1998, telah mampu membawa dampak perubahan. Pasca Reformasi 1998 yang melanda sistem demokrasi di Indonesia telah mampu membawa dampak perubahan besar terhadap masyarakat Indonesia beserta kebudayaan yang dihasilkannya. Kebaya sebagai salah produk budaya pakaian wanita Indonesia mengalami perkembangan bentuk, fungsi, dan makna yang cukup signifikan. Eksistensi kebaya mampu memikat hati perempuan Indonesia, Asia, bahkan dunia. Variasi bahan, bentuk desain, pola, beserta ornamentasinya telah menjadikan kebaya sebagai busana wanita Indonesia yang cukup fashionnable. Perkembangan bentuk itulah yang menjadi titik kunci eksistensi kebaya untuk terus dapat mengepakan sayap sehinggga terhindar dari kepunahan selera zaman.

Pasca Reformasi bahkan dapat dinyatakan sebagai era kebangkitan trend kebaya setelah mengalami “tidur panjang” di bawah pemerintahan otoriter. Kemunculan trend kebaya di jagat fashion telah mampu menjadi fenomena besar. Mulai dari kalangan usia muda hingga tua, marginalis hingga artis, desa sampai kota, Indonesia sampai Asia semua begitu bangga mengenakan kebaya.

KEBAYA PADA MASA MODERN INDONESIA

Pada masa modern Kebaya telah berkembang pesat dan semakin banyak peminatnya, tidak hanya dikenakan oleh kaum ibu, tapi juga mulai diminati oleh perempuan muda di negeri ini. Ibu-ibu yang memasuki usia senja kebanyakan masih menggunakan kebaya klasik sehari-harinya. Sedangkan di kalangan umum kebaya banyak dikenakan oleh perempuan Indonesia pada acara-acara resmi, seperti wisuda, acara pernikahan, upacara adat dan momen Lebaran. Yang menjadi pembeda, biasanya untuk acara wisuda dan upacara adat, kebaya didesain sesederhana mungkin tidak seperti desain kebaya pengantin. Sedang untuk momen Lebaran, kebaya dirancang sesuai dengan model busana muslim yang tidak menampakkan lekuk tubuh dan bagian krahnya dibuat lebih tinggi. Kebaya hasil tangan para perancang busana mampu menyulap kebaya menjadi busana yang semakin memancarkan pesona keanggunan perempuan Indonesia. Semakin banyak variasi berkebaya saat ini, mulai dari penyesuaian bahan, desain dan aksesorinya. Sehingga kebaya menjadi busana yang glamour di tengah suasana pesta.

Sebelumnya kebaya terbuat dari tenunan serat alami, katun halus atau sutera, namun kini banyak bahan alternatif lainnya yang bisa disesuaikan dengan keinginan pemakai. Ditambahkannya aksesori seperti beads, payet, pita, hingga border semakin mempercantik tampilan kebaya. Kini, kebaya tidak melulu pada potongannya yang pendek atau hanya mencapai lutut, tetapi juga dapat didesain panjang menutupi mata kaki atau menjuntai panjang seperti potongan gamis busana muslim dengan tanpa mengurangi pesona keanggunan kebaya.

Kebaya yang anggun dan penuh pesona tidak luput dari selera dan padu padan bahan dan warna dengan bentuk tubuh. Karena jika salah dalam pemilihan bahan dan desain yang tidak sesuai dengan bentuk tubuh akan menciptakan tampilan yang tidak sedap dipandang mata, bahkan akan tidak nyaman saat  dikenakan. Warna kebaya sangat banyak dan seakan tanpa batas. Penyesuaian warna juga berperan dalam keidealan bentuk tubuh dan penyesuaian acara yang akan dihadiri. Saat siang hari, mengenakan kebaya dengan warna soft akan terlihat lebih segar dan anggun. Pemilihan warna gelap baik digunakan oleh tubuh yang gemuk, karena kesan gelapnya akan menyamarkan bentuk tubuh yang gemuk. Dan warna gelap ini baiknya dihindari oleh si tubuh kurus.

Kini kebaya tidak hanya dikenakan bersama dengan kain, tetapi juga dapat dikenakan dengan celana atau rok. Perpaduan kebaya dengan kain songket semakin menguatkan citra tradisional kebaya. Agar tampak lebih bersahaja sebagai wanita yang matang, pada acara-acara resmi kebanyakan para ibu mengenakan selendang sebagai aksesori.

Modifikasi lain yang mampu menghadirkan pesona keanggunan modern adalah permainan desain lengan. Jika dulu desain lengan hanya panjang lurus, kini kita dapat menyesuaikannya dengan keinginan kita, misal bagi perempuan modern di perkotaan atau bagi perempuan yang suka bermain desain, kebaya model kemben akan terlihat anggun dan lebih glamour. Sedang kebaya lengan panjang untuk perempuan muslimah bisa diaplikasikan dengan desain yang lebih beragam, contohnya untuk orang gemuk baiknya menghindari model lengan terompet atau yang menggelembung karena akan menimbulkan kesan ukuran lengan yang lebih besar. Sebaliknya, untuk orang kurus, model lengan dengan lipatan-lipatan akan menampilkan kesan lengan yang lebih berisi.

Tak kalah beragam dengan desain lengan, desain bagian leher atau biasa disebut ‘krah’ juga bervariasi, seperti krah rendah, krah tinggi dengan atau tanpa kancing, krah terbuka yang menampakkan bentuk pundak, kerah lipat dan macam-macam modifikasi lainnya yang bisa kita padu-padankan antara kebutuhan dan keinginan kita.

Dalam berbusana resmi tidaklah mungkin terlepas dari yang namanya alas kaki. Dalam berbusana kebaya, pemilihan alas kaki harus lebih diperhatikan. Pemilihan warna alas kaki haruslah disesuaikan dengan warna kebaya. Sandal high heels dan selop terbukti paling banyak dikenakan bersama dengan kebaya.. Sejak dulu, pemakaian busana kebaya disertai dengan tas. Namun saat ini pilihan tas semakin beragam. Adapula yang merancang khusus satu paket antara tas dan alas kakinya, bahkan beserta kebayanya. Jika dulu bros dikenakan karena belum adanya kancing, tapi sekarang pemakaian bros juga untuk mempercantik tampilan dalam berkebaya. Saat ini bros lebih bervariasi bentuk, ukuran dan warnanya.

Lahirnya Kebaya-kebaya karya Anne Avantie, Marga Alam, Adjie Notonegoro, Biyan Wanaatmadja, Sebastian gunawan hingga perancang-perancang muda seperti Priyo Oktaviano, Rusly Tjohnardi, Ferry Sunarto dan banyak lagi adalah bukti revolusi Kebaya itu.  Kebaya karya desainer-desainer tadi menghujam kuat di kancah lokal dan menghentak khasanah internasional. Aksi tutup mata atas pakem tradisional yang dihembus-hembuskan beberapa orang membuat karya Kebaya meroket ke arah yang sama sekali tak terduga. Ia kini lebih dari sekedar identitas, Kebaya juga sebuah komoditi dan jati diri bangsa Indonesia. Kebaya Indonesia muncul lewat siluet ultra feminin. Ia memeluk tubuh wanita, membuatnya bersinar, dan melekuk sempurna. Tidak dan belum bisa ditemukan di tempat lain, bahkan tempat-tempat yang dipercayai sebagai cikal bakal Kebaya tersebut menulari Indonesia. Mungkin, Kebaya akan segera memasuki kosa-kata Inggris seperti Batik dan Ikat. Kalau sudah begitu, tidak ada yang bisa menggoyahkan posisi Kebaya di Indonesia. Kebaya mencapai kemuliaan seni yang tertinggi di negeri Ini.

Kesesuaian  bertitik tolak dari pola dan corak. Modifikasi, inovasi, dan kreatifitas membawa angin segar fesyen Kebaya masa ini. Ia bagaikan lepas tanpa ikatan. Putu baru, kebaya tunik pendek hingga tlisman mengemas banyak warna dan permainan motif yang cantik di awal abad ke-19. Kurun abad ke-19 dan masa pergerakan di awal abad 20 adalah kala gemilang bagi Kebaya. Kebaya berada di masa yang marak dikenakan masyarakat Indonesia, juga kaum pendatang Eropa dan Cina dengan ragam penyesuaiannya. Sebelum dikelas-kelaskan, Kebaya yang hampir merata dipakai oleh kaum perempuan Indonesia begitu lazimnya hingga kreasi-kreasi khusus dilakukan oleh kaum bangsawan dan dalam istana. Kebaya bangsawan dan keluarga Kraton terbuat dari sutra, beludru, dan kain tebal berornamen (brocade); golongan awam mengenakan bahan katun dan tenun kasar; kaum keturunan Eropa biasanya mengenakan kebaya berbahan katun halus dengan aksen lace (brokat) di pinggirnya; sedangkan untuk perempuan Belanda mengenakan kebaya katun dengan potongan yang lebih pendek. Saat itu bahkan banyak orang Eropa dan Belanda sendiri membeli aneka kebaya di Nederland. Masa ini Kebaya mulai disusupi unsur sinkretisme kelas. Ada Kebaya Keraton dan Bangsawan yang berornamen benang emas (sulam gim) dengan bahan beludru. Potongan khusus yang dipakai oleh perempuan kelas atas juga memberi bekas yang nyata seperti halnya kebaya Kartini. Pakem-pakem mulai terbentuk. Pola-pola tertentu dibatasi dalam garis darah biru. Kebaya mulai dikaplingkan dalam kelas-kelas kasta yang paradoksal.

Pustaka

1.    Ate/hp. Asal usul kebaya, dari tradisional ke pentas pesta. Jum’at – 20 april 2012. www.tempo.co

2.    The origins of kebaya. Citigold magazine vol. 03 – viii tahun 2009

3.    Asal usul kebaya. Rabu-28 maret 2012. Www.enenkvia.blogspot.com

4.    Asal usul kebaya  raden sirait facebook  http://lelymelyndashop.wordpress.com/2009/02/24/asal-usul-kebaya/

5.    Kebaya sebagai trend busana wanita indonesia dari masa ke masa . Triyanto, s.sn., m.a. yogyakarta, 29 desember 2010.

http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Buku%20KEBAYA%20(INTAN).pdf

6.    Pentasari, Ria. 2005. Chic in Kebaya. Penerbit Erlangga. Jakarta

7.    Setiawan, Ferry. 2010. 50 Galeri Kebaya Eksotik nan Cantik. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta

8.    http://fetfat.blogspot.com/2012/01/kebaya-pesona-alam.html


[1]     Timbul Haryono, “Busana dan Kelengkapannya: Aspek Teknomik, Sosioteknik, dan Ideoteknik,” Seminar Busana (Yogyakarta: Hastanata, 2008), 2,

[2]    Bentuk salah satu relief Candi Prambanan yang dapat untuk membaca tentang perilaku budaya   pakaian masyarakat saat itu, belum memakai pakaian tertutup. (Foto coleksi Triyanto, 29 Maret 2008).

[3]       Sunarto, Seni Gatra Wayang Kulit Purwa (Semarang: Dahara Prize, cetakan pertama, 1997), 134.

[4]       Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Volume 2, cetakan ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), 318. Periksa Biranul Anas, dkk., Indonesia Indah: Busana Tradisional (Jakarta: Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII, 1998), 10.

[5] Denys Lombard, volume 2, cetakan ketiga, 2005, 318. Periksa Anas, dkk., 1998, 487

[6] Ninuk M. Pambudy & Ilham Khoiri, “Aku dan Anugerah Kebaya,” dalam KOMPAS (Minggu, 22 April 2007).

[7] Ria Pentasari, penulis buku Chic in Kebaya

JOGJA, OH… JOGJA !!!
Didiek S. Hargono

 

“Sebuah bangsa yang tidak mengerti sejarahnya sendiri hanya akan melahirkan ketololan-ketololan”

Pramudia Ananta Toer

Ketika Bung Karno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, saat ini perlu didukung oleh seluruh daerah untuk memperkuat kemerdekaan secara politis. Dukungan pertama diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang pada waktu itu mempertaruhkan kedudukan politiknya, tidak mempedulikan tawaran Ratu Juliana yang akan memberikan kedudukan Sri Sultan HB X sebagai Pemimpin Koalisi Indonesia-Belanda, malah justru menggadaikan kekayaannya untuk berlangsungnya Pemerintahan Republik Indonesia. Bung Karno yang menerima sendiri telegram dari Jogjakarta pada tangga 5 September 1945 dan berkata di depan para menterinya : “Surat ini adalah langkah awal eksistensi secara de facto bangsa Indonesia, sebuah functie yang bisa mendobrak functie-functie selanjutnya. De Jure kita sudah dapatkan secara aklamasi pada Proklamasi Pegangsaan tapi De Facto surat ini menjadi pedoman kita semua”.

Isi surat 5 September 1945 yang berisi maklumat itu berasal dari Sri Sultan yang berisi bahwa :

  • Pertama : Bahwa daerah istimewa Ngayogyokarto Hadiningrat bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari negara Republik Indonesia.
  • Kedua, bahwa kami sebagai kepala daerah memegang kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarto Hadiningrat dan oleh kerna itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan Ngayogyokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan kami dan kekuasaan lainnya kami yang pegang.
  • Ketiga : Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyokarto Hadiningrat dengan pemerintahan pusat negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggung jawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Banyak jasa dari Jogjakarta yang menjadikannya Daerah Istimewa Jogjakarta, dan seharusnya kita sebagai warga bangsa mengerti sejarah. Dalam Petikan Penjelasan Pasal 122 UU No.22/1999) disebutkan sebagai berikut : “Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini”.

Jangan sampai hanya karena ingin menggusur kedudukan Sri Sultan sebagai kekuatan politik pada pertarungan 2014 maka mereka ingin menghapuskan status daerah istimewa Yogya sekaligus ingin menghilangkan kekuasaan de facto Raja Jawa yang berada dalam lingkungan bangsa Indonesia.

Ingat “Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah !”

Jakarta, 22 September 2012

Taman Siswa Dalam Era Globalisasi

Didiek S. Hargono

Taman Siswa adalah nama sekolah yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 3 Juli tahun 1922 di Yogyakarta. Mulanya nama Taman Siswa adalah “National Onderwijs Institut Taman Siswa”, yang merupakan realisasi gagasan beliau bersama-sama dengan teman di paguyuban Sloso Kliwon. Sekolah yang pertama didirikan adalah di Balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta. Hingga kini mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia. Prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang awalnya menjadi pedoman bagi seorang guru, saat ini menjadi pedoman pendidikan di Indonesia, yaitu :

  1. Ing ngarsa sung tulada – Yang di depan memberi teladan atau contoh
  2. Ing madya mangun karsa – Yang di tengah membangun prakarsa atau semangat
  3. Tut wuri handayani – Dari belakang mendukung

Dalam era globalisasi saat ini, kondisi Taman Siswa sudah secara lambat laun dan pasti tergeser menjadi sekolah pinggiran yang terseok-seok karena gempuran sekolah-sekolah yang berbau asing, yang berembel-embel “sekolah global” dan “sekolah internasional” dengan dana yang tak kenal digit, karena didukung oleh perusahaan konglomerat yang kuat.

Gedung-gedungnyapun jauh dari layak jika dibanding dengan gedung-gedung sekolah global/internasional yang bertingkat-tingkat, modern, dan berada di tempat yang strategis.

Pemerintah yang setiap tahun memperingati hari lahir pendirinya (KI Hajar Dewantara) sebagai hari pendidikan, tetapi melupakan sekolahnya yang saat itu mempunyai sejarah yang panjang dalam menggebrak sistem pendidikan kaum pribumi Indonesia dalam meraih “kemerdekaan”.

Dalam salah satu rapat di departemen pendidikan dan kebudayaan DPP PDI Perjuangan, karena saat itu (sekitar bulan April 2007) aku menjadi penanggung jawab sub bidang pendidikan dalam Departemen P&K yang dikomandoi oleh mas Guruh Soekarnoputra, kami diminta memberikan masukan program pendidikan yang harus dicanangkan oleh PDI Perjuangan. Salah satu yang aku usulkan selain pendidikan gratis oleh kader PDI Perjuangan di daerah tertinggal, juga menyelamatkan Taman Siswa dan menjadikannya sebagai sekolah kader kebangsaan dan nasionalis Indonesia.

Kami ingatkan lagi kepada semuanya, bahwa bukan hal yang mudah saat itu mendirikan Taman Siswa, sekolah pribumi berhaluan nasionalis dalam kungkungan penjajah Belanda. R.M. Suwardi Suryaningrat, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, berjuang dengan rintangan yang panjang. Sesudah menamatkan Sekolah Dasar, ia melanjutkan pelajaran ke STOVIA di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai, karenanya ia bekerja sebagai wartawan, membantu beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, dan Utusan Hindia.

Bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo, pada tanggal 25 Desember 1912 ia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Pada tahun 1913 ia ikut membentuk Komite Bumiputra. Melalui komite itu dilancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dan penjajahan Prancis. Karangannya yang berjudul “Als Ik een Nederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), berisi sindiran dan kecaman yang pedas. Akibatnya, pada bulan Agustus 1913 ia dibuang ke negeri Belanda. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga ia berhasil memperoleh Europeesche Akte. Setelah kembali ke tanah air pada tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan.

Pada tanggal 3 Juli 1922 itulah kemudian beliau mendirikan Taman Siswa, sebuah perguruan yang bercorak nasional. Kepada anak didik ditanamkan rasa kebangsaan agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Banyak rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa, antara lain adanya Ordonansi Sekolah Liar yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda. Tetapi, berkat perjuangan Ki Hajar Dewantara, ordonansi itu dicabut kembali.

Semenjak didirikannya, Taman Siswa berusaha untuk menciptakan iklim yang sesuai di masyarakat agar terbentuk suatu sistem pendidikan yang betul-betul berorientasi pada perkembangan sang anak didik. Terutama untuk mewujudkan masyarakat yang merdeka baik lahir maupun batinnya. Tidak terjajah dan tidak mengalami tekanan lagi. Taman Siswa saat itu betul-betul menjadi obat dari sakit sistem pendidikan yang diberikan kolonial, karena di Taman Siswa dengan mengusung rasa kebangsaan yang tinggi menampung semua golongan yang ada di indonesia untuk bersekolah dan belajar. Hal ini merisaukan Belanda, karena mampu membangkitkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia.

Tujuan pendidikan di Taman Siswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir dan batin, luhur akal budi, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani dan rohani untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertangguingjawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air serta manusia pada umumnya.

Konsep-konsep yang diajarkan Ki Hadjar Dewantara dalam Taman Siswa adalah “TRI-NGA”, yaitu “Ngerti, Ngeroso dan Ngelakoni”. Untuk melaksanakan ini semua, Tamansiswa menyelenggarakannya lewat Tri Pusat Pendidikan, yaitu di lingkungan keluarga, perguruan dan masyarakat yang ketiganya saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Dari tri pusat pendidikan inilah yang nantinya melahirkan output yang kelak bisa diandalkan dan kompetitif menghadapi persaingan dengan dunia luar. Pendidikan Taman Siswa juga terkenal dengan ciri khas Panca Dharma-nya yang bersandar pada kodrat alam, kebudayaan, kemerdekaan, kebangsaan dan kemanusiaan. Didalam Taman Siswa sendiri, sistem pengajaran pun dibuat lebih statis dengan memakai sistem among. Para pengajar dalam Tamansiswa disebut dengan sebutan pamong. Ini bertujuan supaya ada kedekatan emosional antara anak didik dengan pendidik. Sistem among sendiri berarti suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dengan adanya sistem among seperti ini, maka jelaslah bahwasannya fokus dalam pendidikan di Tamansiswa terletak pada sang anak didik (student centred) dimana didalam sistem ini menekankan pada perkembangan anak didik, bukan berdasarkan rancangan yang disusun oleh pendidik seperti yang sudah banyak terjadi sekarang. Jadi dengan adanya sistem among ini, kemampuan sang anak untuk mengembangkan potensi dirinya diserahkan kepada dirinya sendiri dan pendidik bertugas menjadi pembimbing yang akan mengingatkan anak didiknya bilamana terjadi kekeliruan dan kesalahn. Bukan sebagai monster yang akan memasksakan kehendak kepada anak didik. Sehingga dengan sistem among seperti ini, output yang dihasilkan ialah manusia yang benar-benar merdeka. Tidak hanya melek huruf, tapi juga melek terhadap realita yang ada. Tidak hanya pandai mambaca aksara, tapi juga pandai membaca gambaran bangsanya ke depan yang lebih baik.

Oleh karena itu pertanyaannya sekarang adalah apakah kita mampu menyelamatkan warisan Ki Hajar Dewantara? Tidak hanya sekolah Taman Siswa nya saja, tetapi juga nilai yang dikandung dalam sistem dan konsep pengajaran Taman Siswa.

Jakarta, 02 Mei 2012

Kartini dan Gerakan Meng”empu”kan Perempuan Indonesia [1]
Didiek S. Hargono[2]

Terdapat dua hari besar di Indonesia yang bertujuan untuk mengenang perjuangan kaum perempuan untuk dapat hidup merdeka dan memperoleh perbaikan nasib, yaitu tanggal 21 April yang diperingati sebagai hari Kartini dan tanggal 22 Desember yang diperingati sebagai hari Ibu.

Kedua-duanya memang ditetapkan secara resmi oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, tokoh pendidikan, dan emansipasi perempuan. Sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Sedangkan penentuan hari Ibu tanggal 22 Desember oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959 dalam rangka untuk mengenang Konggres Perempuan Indonesia pertama yang diadakan pada tanggal 22 Desember 1928 di Jogjakarta.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar untuk memaknai perjuangannya dalam melepaskan belenggu yang pada masanya merantai kaum perempuan, seperti pendidikan dan persamaan hak, menimbulkan pertanyaan tentang mengapa hanya Kartini yang dipilih sebagai tokoh sentral. Apakah perjuangan Kartini untuk kaumnya dianggap melebihi perjuangan perempuan lainnya seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan lain-lain? Apakah tidak memungkinkan jika peringatan mengenai perjuangan kaum perempuan dijadikan satu dengan menamakannya sebagai Hari Perempuan Indonesia pada tanggal 22 Desember ?”

Pertanyaan tersebut dapat dikupas satu persatu. Mengenai pertanyaan pertama, bahwa Kartini merupakan tokoh yang menyuarakan perempuan atau feminisme gelombang pertama di dunia, selain Aletta Jacobs – Belanda dan Begum Rokeya – Bangladesh. Dimana ketiganya berjuang melawan kekuatan yang mengurung perempuan dalam “sangkar emas” (Kartini), yang memaksa mereka mengurung diri di rumah (Rokeya), atau mencekoki mereka dengan nilai-nilai suci feminine yang mereka karang sendiri . Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengutuk batasan-batasan patriakal dan agamis kolot yang merantai perempuan masa itu, sedangkan khusus untuk Kartini, perjuangan yang dilakukannya melampuai masanya, yaitu menjadi pelopor banyak hal terutama pendidikan kaum perempuan tidak mampu atau miskin, juga mendirikan, memimpin dan menggalakkan organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Walaupun banyak dipengaruhi latar belakang kelas atas atau menengah. Kartini merasa peduli dengan penderitaan perempuan miskin, sehingga beliau menentang dan memerangi pengkucilan perempuan dari pendidikan serta adanya penyelewangn sistem ekonomi dan hukum sehingga membuat laki-laki diuntungkan dan menjadi tempat bergantungnya perempuan. Kartini juga memusatkan perhatian pada segi politik tubuh, seperti perkawinan dini, pingitan, poligami, dan perjodohan.

Jadi memang sudah selayaknya Kartini menjadi pelopor dalam pemikiran tentang perbaikan kaum perempuan. Dalam hal belum dilaksanakan aksi untuk mencapai tujuannya, semata-mata karena kondisi saat itu yang belum dapat diatasi oleh Kartini sendiri dalam melawan norma-norma yang berlaku saat itu, ditambah dengan umurnya yang pendek yang tidak memungkinkannya melaksanakan semua yang dicita-citakannya.

Perjuangan Cut Nyak Dien yang hidup sebelum Kartini berjuang untuk melepaskan penjajahan daerah Aceh dengan penekanan pada agama Islam, tidak dalam konteks perempuan, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan Kartini. Tujuan perang Aceh adalah mengusir penjajah yang dianggap “kafir” oleh para pejuang Aceh termasuk Cut Nyak Dien yang mengambil alih komando dari tangan suaminya Teuku Umar yang gugur dalam perang. Sedangkan Dewi Sartika yang juga merupakan anak bangsawan di Jawa Barat berjuang pada masa-masa Kartini dan juga dalam konteks perempuan. Dewi Sartika yang lahir di Tasikmalaya, 4 Desember 1884 berjuang pada masa-masa Kartini. Tetapi ada beberapa hal yang berbeda antara keduanya.

Pada tahun 1904 ketika Kartini wafat, Dewi Sartika justru dapat mendirikan sekolahnya di Jalan Kabupaten (Regentsweg) meminjam tempat di halaman depan rumah Bupati Bandung. Sekolah tersebut dinamakan “Sakola Istri” yang merupakan sekolah yang memberikan kesempatan kepada perempuan yang bukan kaum bangsawan untuk mengecap sejumlah pendidikan yang dibutuhkan perempuan. pada 1910 Dewi Sartika mengubah Sakola Istri menjadi Sakola Kaoetamaan Istri, dengan jangkauan lebih luas, bahkan dari luar Jawa Barat. Sekolah ini yang memicu munculnya sekolah-sekolah sejenis di pelosok nusantara yang lain.

Sehingga kalau disandingkan dengan Kartini, maka keduanya sama-sama berjuang untuk kaum perempuan tetapi Kartini boleh dibilang baru pada tahap wacana, sementara Dewi Sartika telah memberikan aplikasi yang nyata. Kelebihan Kartini adalah adanya kompilasi surat-surat yang berisi pemikirannya yang memang “luar biasa”, dapat diterbitkan oleh sahabatnya, J.H Abendanon dan disebarkan ke seluruh nusantara. Selain daripada itu Kartini adalah putri bupati yang loyal pada pemerintah Hindia-Belanda, sedangkan Dewi Sartika merupakan putri seorang bupati yang memberontak. Mengangkat nama Dewi Sartika adalah satu hal yang memang dihindari pemerintah kolonial Belanda kala itu.

Walaupun para pejuang perempuan tersebut diangkat menjadi pahlawan nasional, adanya pemberian nama Kartini untuk suatu hari besar dengan tujuan menghormati perjuangan kaum perempuan meraih impiannya, kurang bijaksana. Akan lebih baik jika dengan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia dan mencegah adanya kultus individu, sebaiknya kedua hari besar yang memiliki nafas yang sama dapat disatukan menjadi “Hari Perempuan Indonesia”.

Jika memang disepakati, tanggal berapa yang dipilih untuk mewakilinya? Yang paling tepat adalah tanggal 22 Desember, yang merupakan wujud penghargaan akan upaya kaum perempuan Indonesia untuk mulai bergerak dalam meng”empu”kan kaum perempuan Indonesia secara organisasi, bukan secara individual dan lokal seperti Kartini, yang wilayah perjuangannya hanya di Jepara dan Rembang saja, atau Dewi Sartika di Jawa Barat saja, dan Cut Nyak Dien di daerah Aceh.

Seperti diketahui bahwa pada Konggres Perempuan pertama kali, tanggal 22 Desember 1928 di Jogjakarta, para pemimpin organisasi perempuan se Nusantara berkumpul untuk menyatukan pikiran-pikiran dan semangat untuk berjuang menuntut kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Dalam konggres pertama tersebut dibahas berbagai permasalahan menyangkut kondisi perempuan saat itu, diantaranya persatuan perempuan se Indonesia, keterlibatan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa, mencegah terjadinya perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan bayi, serta pernikahan usia dini bagi perempuan. Bisa saja jika diteliti latar belakang terselenggaranya peristiwa tersebut, para perempuan tersebut terinspirasi salah satunya oleh perjuangan Kartini dan pejuang perempuan lainnya.

Sedangkan Kartini sendiri, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan kekaguman akan perjuangannya dapat tetap dikenang sebagai pahlawan nasional seperti yang lainnya. Mungkin jika sekiranya Kartini masih hidup saat ini, pasti beliau akan senang menerimanya karena tidak dikultus individukan, karena pada dasarnya beliau tidak akan senang menerima pemujaan yang berlebihan dan tak pada tempatnya, sebab Kartini adalah seseorang yang betul-betul menghayati “noblesse oblige” (keningratan berarti kewajiban).

Mengenai perlunya mengganti kata ”Ibu” dalam peringatan “Hari Ibu” dengan kata ”Perempuan”, ada beberapa alasan yang mendukung hal tersebut. Salah satunya adalah untuk mencegah adanya kerancuan dalam arti dan penyamaan “Hari Ibu” di Indonesia dengan “Mother’s Day” di Eropa dan Amerika – Timur Tengah, yang merupakan peringatan yang secara turun temurun dilakukan oleh mereka yang biasa memuja Dewi Rhea – istri Dewa Kronos, ibu para dewa dalam mitologi Yunani Kuno. Selain daripada itu, karena kata “perempuan” yang berasal dari bahasa Melayu mempunyai arti yang indah, yaitu “dia yang di-empu-kan”, dimana kata “Empu” dapat diartikan Yang Agung, Yang Bijak, Yang Kuasa, atau gabungan dari semua sifat luhur tersebut, maka akan lebih baik jika kata Ibu diganti Perempuan yang lebih global.

Tetapi terlepas dari hal tersebut, perjuangan Kartini dan pejuang perempuan lainnya sangat kita hargai dan junjung tinggi. Perjuangan mereka harus dapat dijadikan suri tauladan dan simbol inspirasi bagi perjuangan kita semua untuk memajukan perempuan Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan menjadikan masyarakat Indonesia adil dan makmur. Perjuangan mereka pada jamannya menggunakan cara-cara yang dapat dilakukan pada saat itu, Cut Nyak Dien dan Christina Martha Tiahahu dengan senjata, sedangkan Kartini dan Dewi Sartika dengan pikiran dan pendidikan serta menyebarluaskan ide dan pandangannya tentang feminisme, yang saat itu merupakan wacana yang belum familiar bahkan di Barat.

Justru yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, dalam era materialisme dan liberal kapitalistik saat ini, bagaimana kita memandang peran perempuan dalam usaha memerdekakan tidak saja kaumnya saja, tetapi seluruh rakyat Indonesia dari jurang kemiskinan yang masih menganga. Seharusnya jika memang kita ingin mengenang perjuangan RA Kartini, maka peringatan ini tidak hanya untuk sekedar memakai kebaya atau pakaian daerah dengan hiruk pikuknya di setiap sekolah-sekolah, tetapi tanpa dapat memaknai perjuangan Kartini dalam memerangi kebodohan, persamaan hak, feminisme, perkawinan dini, poligami, dan kebebasan berekspresi, yang belum dirasakannya hingga maut menjemputnya dalam usia muda.

Jakarta, 21 April 2008


[1] Dimuat di www.koraninternet.compada hari Senin, 21 April 2008

[2] Bidang Pendidikan dan Kebudayaan – DPP PDI Perjuangan

2 Komentar »

  1. Subhanaallah. Wacana yang luar biasa! Setuju untuk dijadikan Hari Perempuan 22 Desember!

    Komentar oleh Siti Badriyah — 21 April 2012 @ 01:18

    • Thanks mbak, saya hanya memberikan pendapat saja… untuk merubah perlu disalurkan hingga ke pemerintah yang nantinya akan menetapkan perubahan tersebut…. Ayo digalang saja dari sekarang…

      Komentar oleh diekz — 21 September 2012 @ 13:48


Tinggalkan komentar

About author

Ir. Didiek Setiabudi Hargono SE. ME. adalah Sarjana Kehutanan IPB dan Sarjana Ekonomi UI. Menyelesaikan Magister Ekonomi dari Fakultas Ekonomi UI. Saat ini bekerja di Yayasan Kebun Raya Indonesia yang didirikan oleh Megawati Sukarnoputri sebagai Direktur Eksekutif dan aktif dalam organisasi politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pengurus Bidang Kehutanan dan Perkebunan di bawah pimpinan DR. M. Prakosa PhD. Deklarator Cendekiawan Marhaenis dan Ikatan Cendekiawan Nasionalis Indonesia. Deklarator dan Wakil Sekjen pada Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo) yang didirikan oleh Kwik Kian Gie.

Cari

Navigasi

Kategori:

Links:

Archives:

Feeds